Well, kerja
memang selalu dikaitkan dengan mata pencarian padahal tidak semua pekerjaan
menghasilkan uang salah satu contohnya adalah sekolah. Supaya tidak meluas
baiknya kita sempitkan dulu pembahasan tentang kerja menjadi mata pencarian yang
statusnya sebagai pegawai.
Apa rasanya
kerja? Setidaknya ini pertanyaan besar saya sejak TK hingga SMA. Setelah lulus
SMA saya coba bekerja sebagai operator warnet. Apa rasanya kerja sebagai
operator warnet? Jawabannya: membosankan dan penuh tekanan. Kenapa membosankan?
Karena saya masuk tiap hari dari jam delapan pagi hingga jam setengah tujuh
maghrib. Kenapa penuh tekanan? Karena ternyata operator warnet juga harus merangkap
teknisi. Saya dipaksa mengerti tiap karakteristik PC—baik perangkat keras dan
lunaknya—yang saya pantau operasinya. Tiap masalah harus cepat ditangani dan
semua pertanyaan pelanggan harus langsung terjawab seakan-akan saya ini Google.
Ini jelas terlalu berat. Kerja 10,5 jam tiap hari plus peran ganda namun, hanya
digaji Rp500.000/bulan adalah hal yang menyengsarakan. Untunglah ini tidak
berlangsung terlalu lama lantaran saya harus mulai masuk kuliah sebulan
kemudian.
Nah, begitu
lulus kuliah inilah saya baru mencari pekerjaan yang sebenarnya. Saya lulus S1
bulan Desember 2014, baru terima surat keterangan lulus Februari 2015,
sedangkan ijazah menyusul kemudian pada Mei 2015. Sejak Desember 2014 hingga
Mei 2015 saya sudah menebar sekitar 30-an lamaran via pos dan 20-an via online.
Sekian banyak lamaran yang saya tebar ke Perusahaan-Perusahaan di daerah
Banten, Jakarta, dan Lampung hanya ada satu yang memanggil yaitu PT. Mandala
Finance. Syukurlah saya bisa melaju ke seleksi tahap final yakni wawancara
dengan user pusat PT. Mandala Finance walau akhirnya gagal. Tidak apalah,
namanya juga perjuangan.
Kemudian
pada sekitar pengujung Mei 2015 saya menemukan lowongan dari teman sejurusan
saya di grup Facebook Teknik Lingkungan 2010. Tawaran bekerja di konsultan
lingkungan sebagai staff dengan gaji hanya Rp1.500.000 tanpa uang lembur dan
asuransi kesehatan. Angka ini bahkan lebih kecil dari gaji adik saya yang
sekitar Rp.1.700.000 plus lembur dan jaminan kesehatan. Padahal adik saya hanya
lulusan SMK. Hati tanpa ragu jelas langsung menolak lowongan tersebut tapi
ternyata tidak otak saya. Rasio saya berkata bahwa jauh lebih baik jadi pekerja
bergaji kecil ketimbang pengangguran. Saya malu merepotkan Ayah-Ibu sejak dalam
kandungan hingga jadi sarjana. Singkat cerita akhirnya saya ambil peluang
tersebut dengan mengantarkan lamaran yang di hari sama dilanjutkan dengan
wawancara user. Syukurlah, saya diterima di sana dan mulai kerja minggu depan.
Inilah
pekerjaan pertama saya yang ternyata menyenangkan dan menantang. Menyenangkan
karena staff di sini nyaris semuanya sebaya; menantang karena Bos menekan saya
harus mampu mengerjakan kegiatan-kegiatan layaknya seorang yang sangat
berpengalaman. Awalnya memang terasa gila tapi setelah dilalui ternyata terletup
sejenis perasaan senang dan puas yang adiktif. Sejak itulah saya mulai berpikir
kalau di Perusahaan ini saya sebenarnya sedang belajar dan dibonusi uang saku
bulanan. Dengan berpikir begitu gaji tersebut tidak lagi terasa kecil dan saya
pun kian fokus melahap tiap tantangan yang diberikan Bos.
Kebiasaan
saya sebagai operator warnet membuat saya peka terhadap kendala yang dialami
komputer beserta perangkat-perangkat tambahannya. Kepekaan inilah yang menggerakkan
saya untuk mengatasi tiap kendala TI di sana bahkan sebelum dikeluhkan. Saya
rajin mengecek kondisi tiap PC dan laptop rekan sekantor. Saya juga membantu Bos
memahami pentingnya investasi fasilitas TI dalam bidang konsultansi. Luar
biasa, ternyata Bos merespons dengan membelikan kami tiga PC baru di luar
pembelian satu PC khusus untuk drafter. Sebelum membeli PC Bos bertanya pada
saya spesifikasi apa yang dibutuhkan dan saya pun menanggapinya dengan
mengajukan spesifikasi yang sesuai beserta hitung-hitungan rinci. Selain itu Bos
juga menaikkan kapasitas internet kantor karena saya rajin menggalakkan berbagi
file-file kecil lewat e-mail untuk menggantikan flash disk.
Selanjutnya,
pada sekitar Oktober saya diperintahkan Bos untuk ke Bengkulu menjernihkan suramnya
proyek beliau di sana. Karena sepertinya keadaan ini begitu menantang dan tim
yang sudah ada di sini pun juga kekurangan tenaga maka, saya bulatkan tekad
untuk tinggal di Bengkulu hingga proyek selesai. Proyek di sini jauh lebih gila
dari yang saya pikirkan. Lima kegiatan seharga total ±1,7 miliar rupiah dengan kontrak
enam bulan (Mei s/d Desember 2015) diselesaikan hanya dalam dua bulan dengan
rincian: satu bulan survey dan satu bulan sisanya full mengerjakan laporan
beserta seminar-seminarnya. Semua orang sudah tegang ini akan putus kontrak
atau jadi temuan BPK. Untunglah semua selesai tepat waktu berkat kerjasama tim
dan koordinasi yang amat intens.
Atas
keberhasilan ini, Bos saya bahkan salut dan menggadang-gadangkan saya sebagai
leader atau lebih besarnya lagi pimpinan kantor. Tidak lama setelah pulang ke
kantor Lampung yaitu pada 4 Januari 2016 sebuah telepon dari PPTK kegiatan
Bengkulu kemarin berdering. Beliau menawarkan saya untuk jadi konsultan
individu unit pelaksana teknis daerah (UPTD) air minum regional Kota Bengkulu,
Kab. Bengkulu Tengah, dan Kab. Seluma. Gajinya memang menarik namun
konsekuensinya saya harus pindah ke Bengkulu. Saya pun meminta waktu untuk
berpikir selama seminggu. Keputusan akhirnya dibuat dan saya ambil tawaran
Bapak tersebut. Selanjutnya pada 1 Februari saya mulai bekerja di Bengkulu.
Berat untuk
pindah ke Bengkulu karena di sana belum semaju Bandar Lampung, kota asal saya. Tapi,
jika ditimbang lagi sebenarnya Bandar Lampung pun baru kelihatan maju
signifikan sejak 2009, bukan tidak mungkin Kota Bengkulu juga bisa mengalami
hal serupa. Selain itu pula jarak Bandar Lampung-Bengkulu hanya sekitar 12 jam
perjalanan mobil. Tidak terlalu jauh jika memang saya jenuh di Bengkulu dan
ingin mengunjungi Ayah-Ibu di rumah. Saya juga sebetulnya masih penasaran untuk
lebih jauh menjelajahi Curup dan Lebong. Kebetulan saya ada kawan akrab di
Curup. Saya juga mendapat ide untuk memenuhi keinginan yang sulit dicari atau
tidak ada di Bengkulu yaitu lewat belanja online. Jadi sebenarnya Bengkulu
menurut saya tidak seburuk itu.
Lewat
cerita saya yang agak panjang di atas mungkin sebagian kalian dapat menangkap
siratan bahwa kerja itu melelahkan. Tentu saja. Namun, lelah belum tentu
menyiksa. Lelahnya bekerja kadang bisa buat ketagihan. Jelas anda mustahil
mengalaminya kalau kerja di bidang yang tidak anda nikmati. Peganglah prinsip
bahwa sebelum mendapat pekerjaan yang lebih baik anda harus punya “Kualitas” yang dalam hal ini dibutkikan
dari pengalaman kerja. Lalu, bagaimana bisa anda punya pengalaman kerja bila
terlalu pilih-pilih? Ambil kesempatan apapun yang ada! Buktikan berapa
sebenarnya posisi gaji anda selama bekerja dan lihat hasilnya!
Bekerja
di warnet membuat saya belajar kerja ikhlas. Bekerja di konsultan lingkungan
mengajarkan saya penerapan ilmu lingkungan, berurusan dengan orang hebat, dan
tetap waras walau di bawah tekanan dahsyat. Bagi saya upah itu terbagi tiga:
(1) uang, (2) pengalaman, dan (3) kepercayaan. Serap sekecil apapun pengalaman
yang ada dalam tugas wajib anda! Perjuangkanlah segala cara benar untuk
mendapat kepercayaan baik dari atasan, bawahan, rekan kerja selevel, atau
bahkan orang luar! Kian banyak pengalaman dan kepercayaan yang anda punya maka
uang pun akan mengikuti. Tulisan saya ini semata berbagi. Semoga tidak ada yang
merasa dikuliahi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar