Engineering; Game; Sosial; Blogging; Lingkungan; Kuliah; Psikologi Populer; Download; Sejarah; Film; Umum| SELAMAT DATANG DI GUNARMAN.BLOGSPOT.COM| Blog kecil padat informasi|

Kamis, 12 Mei 2016

Realita Sarjana Teknik Indonesia di Dunia Kerja

Hal pertama yang harus kita semua pahami bahwa tidak murah apalagi mudah untuk menjadi seorang sarjana. Hal kedua yang juga patut dicamkan adalah bahwa jenjang akademis dan profesi merupakan dua hal yang berbeda. Lulusan S1 Kedokteran bergelar sarjana kedokteran (S. Ked) sedangkan sarjana kedokteran yang bekerja di bidang kedokteran bergelar Dokter. Rata-rata fresh graduate berpikir, makin tinggi jenjang akademis maka akan kian mudahlah dalam mencari kerja, padahal tidak begitu. Mereka pikir industri menilai S2, S3, dan seterusnya merupakan indikasi level profesionalisme. Dunia kerja hanya mempersyaratkan fresh graduate berpendidikan S1 atau setara dengan penguasaan beberapa keahlian spesifik dan akan jauh lebih baik lagi bila diimbuhi sedikit pengalaman kerja di bidang terkait.

Pola pikir “Jenjang akademis = jenjang profesi” malah menjadikan kita terlalu fokus pada nilai dan mengabaikan ilmu. Kita belajar untuk ujian (menghafal) bukannya untuk paham. Alhasil begitu selesai ujian segala materi kuliah yang sudah susah-payah dipelajari menguap entah ke mana. Kita menganggap kian cepat lulus plus IPK di atas rata-rata akan menempatkan kita pada ranking teratas di tiap lowongan. Industri memang mempersyaratkan IPK tapi, nilainya rata-rata cukup 3,00 saja. Segala keganjilan paradigma ini membawa sebagian besar sarjana Indonesia terjerumus dalam status “Tenaga kerja berijazah” dan bukan “Tenaga kerja terdidik”.

Nistanya status ini sudah saya temui sendiri dalam pekerjaan sebagai konsultan teknik. Rasa heran bercampur geram berkecamuk di hati dan pikiran saya tatkala tiap kali melihat dokumen-dokumen perencanaan yang miskin (kalau tidak mau dibilang nihil) unsur analisis keilmuannya. Semuanya dibuat tipikal, dalam artian desain dan perhitungannya mengikuti apa yang sudah ada belaka. Misalnya jika kita merancang jembatan maka bukan analisa-analisa matematika teknik super jelimet yang keluar dalam dokumen tersebut melainkan hanya asumsi-asumsi cap-cip-cup. Tinggal lihat spesifikasi, pilih jenis jembatan apa, lebarnya berapa, bentangnya berapa, dan kategori bebannya apa, dst lalu buat gambar kerja dan RAB. Semuanya sudah tinggal cocok-cocokan, “Jika bebannya sekian maka bahan bakunya ... ; jika bentangya sekian maka kualitas betonnya ...” begitu instannya.

Kalau sudah begini dunia kerja sarjana teknik, wajar saja orang-orang enteng berujar, “Konsultan teknik itu modalnya cuma kertas.” dan saya agak sulit untuk tidak tersinggung dengan pernyataan tersebut. Sudah desainnya tipikal, tidak jarang kurang cocok dengan penerapannya di lapangan pula. Kontraktor yang biasa menemui desain ngaco konsultan teknik memegang sejenis etika ‘tak tertulis untuk tidak lekas mengajukan ubah kontrak (misalnya ketika konstruksi baru berjalan seminggu) lantaran pelaksanaan pasti meleset jauh dari perencanaan. Kontraktor biasanya baru mengubah kontrak sekitar setengah perjalanan konstruksi, semata demi melindungi para perencana dan pejabat pengesah produk perencana dari temuan auditor maupun penegak hukum.

Pengalaman getir mengerjakan produk konsultan teknik juga pernah saya dengar langsung dari seorang kontraktor spesialis air minum. Dia menceritakan, pernah suatu kali ia menemui proyek sistem penyediaan air minum (SPAM) yang tujuannya untuk mengalirkan air permukaan ke area distribusi namun, dalam dokumen perencanaanya tidak terdapat intake (bangunan penyadap air). Bagaimana bisa air permukaan masuk ke pipa kalau tidak ada intake? Ujungnya kontraktor ini mau-tidak mau harus membangun intake bendung yang jelas-jelas tidak dihitung dalam nilai kontrak. Karena melaksanakan volume kerja ekstra dengan nilai kontrak tetap, kontraktor ini menderita besar dengan hanya mendapat keuntungan lima juta rupiah saja. Lagi-lagi kontraktor tidak mau mengajukan ubah kontrak karena ingin melindungi perencana dan pejabat pengesah produk perencana. Saya tidak tahu apa perencanaan tersebut benar dikerjakan sarjana teknik atau bukan, sebab kalau iya maka jelas ini sangat memalukan.

Itu baru cerita dari para kontraktor belum lagi dari cerita saya yang bekerja sama dengan konsultan-konsultan teknik senior. Saya, terus terang, sangat kecewa ketika menemui bahwa panjangnya pengalaman kerja di bidang teknik ternyata tidak membuat ilmu seorang sarjana teknik makin dalam dan komprehensif, justru sebaliknya. Berbelas-belas tahun pengalaman kerja di bidang teknik, malah membuat para sarjana teknik ini kian melupakan analisa-analisa teknik. Kasar kata, sarjana-sarjana teknik ini kian tahun bekerja teknik kian pola pikirnya merosot hingga selevel mandor atau bahkan tukang.

Makin lucu lagi ketika ada konsultan teknik senior merasa tidak mau kalah dengan saya yang baru kemarin sore jadi konsultan teknik. Kali ini kasusnya adalah menghitung estimasi biaya proyek. Kebetulan proyek tersebut nilainya ratusan miliar. Saya dari awal mengajak beliau untuk berpikir simpel dengan mengambil beberapa asumsi-asumsi saja karena memang taksiran akurat baru bisa jatuh setelah detail engineering design (detail desain teknis). OK! Saya turuti orang tua ini. Hari demi hari berjalan dan deadline terus mendekat namun apa yang selesai dihitungnya baru beberapa item saja. Saya tidak bisa terlalu banyak bantu karena estimasi tersebut bidangnya sarjana teknik sipil.

Sampailah kami pada deadline dan hasil estimasi harus sudah dikaji oleh  Boss. Begitu rapat, si Boss dengan lancar mengeluarkan asumsi-asumsinya yang memang berdasarkan puluhan tahun pengalaman beliau di bidang air minum. Kami pun langsung menghitung asumsi-asumsi tersebut. Akhirnya estimasi selesai dalam hitungan jam dan siap dikirim ke Kementerian. Apa yang coba saya sampaikan adalah, rekan saya yang konsultan teknik senior ini kalau diajak berpikir simpel tidak mau (mungkin karena takut dinilai kurang pakar) tapi, diajak berpikir rumit (analitis) juga tidak mampu.

Maka jangan heran kalau ada sarjana ekonomi yang pernah ikut kontraktor sekian belas tahun berani bicara sok analisa teknis di depan para sarjana teknik. Sebab beliau sudah ukur rata-rata isi otak sarjana teknik. Jadi jangan tersinggung juga kalau beliau bilang, “Dosen teknik sipil pun belum tentu bisa mendesain jembatan.”! Pernyataan orang non-sarjana teknik yang bernada menantang bahkan melecehkan seperti ini memang wajar kita evaluasi. Seorang konsultan teknik senior lain juga sempat curhat bahwa kesarjanaanya tidak dipandang oleh khalayak. Bila merunut dari cerita-cerita di atas rasanya aneh kalau Om ini mengeluh begitu.

Akhir kata, bagi siapapun yang membaca tulisan panjang ini, tidak ada sedikitpun maksud saya untuk menganggap diri lebih baik dan benar dari rekan sarjana teknik lain. Saya hanya ingin pada siapapun rekan sarjana teknik yang bekerja atau nantinya berminat kerja di bidang teknik untuk terus menjaga wibawa fakultas kita. Kuliah bukan hanya cari ijazah. Kuliah itu seperti mencari bocoran pengalaman ribuan praktik orang terdahulu supaya ke depannya di dunia kerja kita tidak sering melakukan trial and error. Jadi sesungguhnya (oleh industri) kita diharapkan harus langsung paham jika diberi satu-dua kali arahan, karena sudah dapat bocoran pengalaman orang selama di bangku kuliah.

Rabu, 24 Februari 2016

Perhitungan Untuk Menentukan Diameter Pipa Transmisi

Memilih diameter pipa transmisi merupakan salah satu tahap kunci dalam tiap perencanaan kegiatan air minum. Dasar-dasar menentukan diameter pipa transmisi ini harus benar-benar dipahami anak Teknik Lingkungan. Lalu apa saja langkah-langkah dan data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan perhitungan diameter pipa transmisi? Mari, langsung saja kita mulai contoh perhitungannya!

Diketahui:
Jumlah penduduk yang akan dilayani     : 1100 orang
Kebutuhan air per orang                         : 60 lt/orang/hari
Kebutuhan lainnya                                   : 20%
Faktor hari maksimum (fhm)                   : 1,15
Elevasi intake                                           : 130 mdpl
Elevasi reservoir                                      : 90 mdpl
Jarak intake-reservoir                              : 3500 m
Koefisien kekasaran pipa (C)                  : 120

Kriteria penentuan kebutuhan air per orang dapat anda lihat pada tabel di bawah ini:
Sumber: Dirjen Cipta Karya Kementerian PU 1994

Sedangkan untuk faktor hari maksimum anda dapat menggunakan rentang 1-1,15.

Selanjutnya, kita masukkan angka-angka tersebut ke dalam rumus yang ada di bawah:

D = ( {3,59 x 106 x Qmaks} / {C x S0,54} )0,38

D         : Diameter pipa transmisi
C         : Koefisien kekasaran pipa
Qmaks  : Debit maksimal yang akan melalui pipa
S         : Slope atau persentase kemiringan pipa


Perhitungan:

Kebutuhan air rata-rata (Qr)
Qr = (1100 orang x 60 lt/orang/hari)/86400 detik
Qr = 0,76 lt/detik

Kebutuhan air lainnya (Ql)
Ql = 20% x 0,76 lt/detik
Ql = 0,15 lt/detik

Kebutuhan harian maksimal (Qmaks) menurut faktor harian maksimum (fhm)
Qmaks = (0,76 lt/detik + 0,15 lt/detik) x 1,15
Qmaks = 1,05 lt/detik

Slope (S)
S = (40 m/3500 m) x 100%
S = 1,14%

Maka:
D = ( {3,59 x 106 x 1,05} / {120 x 1,140,54} )0,38
D = 49,71 mm 50 mm

Guna pengecekkan lebih akurat, hitungan kasar ini selanjutnya akan disimulasikan di EPANET.


Catatan:
            Dalam penerapannya, debit sering kali sudah langsung ditentukan oleh pihak perencana, misalnya Dinas PU, dengan besaran seperti 20 lt/detik, 15 lt/detik, 50 lt/detik, dsbg.

Selasa, 23 Februari 2016

Teknik Lingkungan: Kuliah dan Penerapannya di Dunia Kerja

Halo bagi kalian semua alumni, mahasiswa, maupun calon anak Teknik Lingkungan! Dalam artikel ini saya hendak berbagi pengalaman kerja saya yang masih seumur jagung di bidang Teknik Lingkungan. Saya kebetulan saat ini tengah bekerja sebagai konsultan Teknik Lingkungan. Menurut saya pribadi untuk ukuran Teknik, materi kuliah Teknik Lingkungan tidaklah begitu berat namun entah kenapa peminat Teknik Lingkungan belum begitu banyak padahal, bidang ini belakangan makin dibutuhkan. Ditambah lagi, tidak sedikit alumni Teknik Lingkungan yang malah berkarier di luar bidang lingkungan.

Jika memang begitu dibutuhkan, lantas (1) kenapa banyak alumni Teknik Lingkungan malah kerja di luar ranahnya? (2) Kenapa dengan melimpahnya lowongan ini hanya sedikit yang menyerap anak Teknik Lingkungan? (3) Apa sebenarnya bidang kerja yang memerlukan keahlian Teknik Lingkungan? (1) Saya tidak bisa memberi musabab pasti kenapa alumni Teknik Lingkungan banyak yang kerja di luar ranahnya tapi, berdasarkan pengalaman pribadi bisa saya simpulkan bahwa iklan lowongan khusus Teknik Lingkungan begitu sedikit bila dibanding lowongan untuk jurusan lain, misalnya akuntansi. Salah satu iklan lowongan yang umum diperuntukkan lulusan Teknik Lingkungan adalah staff K3. Tapi, syarat yang dipatok bagi pelamar staff K3 tidak masuk akal bagi lulusan baru Teknik Lingkungan. Rata-rata lowongan staff K3 mempersyaratkan pengalaman di bidang K3 minimal setahun plus sertifikat pelatihan K3 entah itu SMK3 atau OHSAS. Untuk lebih detail anda bisa cari sendiri syarat untuk ikut pelatihan SMK3 dan OHSAS di internet!

Selain staff K3, lowongan lain yang butuh anak Teknik Lingkungan adalah staff WTP dan WWTP. Namun, kedua lowongan ini sayangnya jarang ada. (2) Penyebab banyaknya lowongan Teknik Lingkungan kurang menyerap alumninya beberapa di antaranya sudah dijawab di atas lalu, sisanya lantaran lowongan-lowongan Teknik Lingkungan lainnya disediakan Instansi Pemerintah. Sudah jadi rahasia umum kalau lowongan itu digelar Instansi Pemerintah maka yang bisa mengisinya pasti orang-orang terdekat para Pejabat Pengadaan terkait saja. Lantaran kurangnya pengumuman maka, tidak heran pula lowongan-lowongan ini sulit terdeteksi para lulusan Teknik Lingkungan. Selain itu juga nyaris semua lowongan tersebut membutuhkan sekian tahun pengalaman kerja di bidang Lingkungan beserta Surat Keterangan Ahli (SKA).

Untuk mulai punya pengalaman kerja di bidang lingkungan pastinya anda harus pernah bekerja dulu di salah satu perusahaan jasa konsultansi lingkungan. Dengan kata lain, untuk melamar lowongan-lowongan lingkungan dari Instansi Pemerintah anda harus benar-benar mulai dari bawah. (3) Bidang kerja yang memerlukan keahlian Teknik Lingkungan antara lain: pengolahan air buangan industri, pengelolaan air minum, sanitasi masyarakat, dan satu yang sudah disebutkan di atas yaitu K3.

Apa yang bisa kalian siapkan semenjak di bangku kuliah bila memang bercita-cita bergerak di dunia Teknik Lingkungan adalah pengetahuan yang komprehensif mengenai seluruh mata kuliah. Jika kalian memang ingin jadi konsultan Teknik Lingkungan pengetahuan yang harus kalian dalami ialah seputar air minum. Belajarlah cara menentukan dimensi pipa, ilmu pengolahan air minum, merancang bangunan pengolahan air minum, dan perencanaan-perencanaan pelayanannya! Selain itu jangan lupa perbanyak bacaan terkait sanitasi masyarakat! Pahami dasar-dasar hukum bagi perencanaan air minum dan sanitasi! Selama di bangku kuliah kuasai Microsoft Office sebaik mungkin karena ini salah satu senjata konsultan lingkungan! Jangan pula malas mengasah Bahasa Inggris kalian!

Kerja di bidang Teknik Lingkungan tidak sesulit kuliahnya. Percayalah! Misalnya tentang perencanaan bangunan air minum. Kita tidak perlu repot-repot menjelaskan alternatif pengolahan hingga perhitungan saluran-saluran unit bangunan pengolahan karena Pemerintah biasa membeli IPA jadi sesuai dengan debit yang mereka rencanakan. Walau begitu, ilmu Teknik Lingkungan tetap harus mengakar di kepala anda! Untuk apa? Supaya kalian bisa lebih kritis menyikapi data. Contohnya, hanya anak Teknik Lingkungan yang bisa menstandarkan data perencanaan air minum. Data sering kali tidak begitu rinci dan yang bisa mendetailkannya cuma orang yang memiliki pengetahun Teknik Lingkungan.

            Tidak hanya semata akademis yang harus mahasiswa Teknik Lingkungan siapkan bila ingin kerja di bidang Teknik Lingkungan namun juga relasi dengan alumni dan teman-teman lain sejurusan. Simpan semua kontak kawan sejurusan anda termasuk para Dosen! Ini penting karena kita tidak tahu kelak kita mungkin begitu membutuhkan mereka. Buatlah grup Facebook khusus teman jurusan seangkatan dan rekan sejurusan pada umumnya! Sebab ini akan menjaga koneksi dan aliran informasi kalian!

Senin, 15 Februari 2016

Apa Rasanya Kerja?

Well, kerja memang selalu dikaitkan dengan mata pencarian padahal tidak semua pekerjaan menghasilkan uang salah satu contohnya adalah sekolah. Supaya tidak meluas baiknya kita sempitkan dulu pembahasan tentang kerja menjadi mata pencarian yang statusnya sebagai pegawai.

Apa rasanya kerja? Setidaknya ini pertanyaan besar saya sejak TK hingga SMA. Setelah lulus SMA saya coba bekerja sebagai operator warnet. Apa rasanya kerja sebagai operator warnet? Jawabannya: membosankan dan penuh tekanan. Kenapa membosankan? Karena saya masuk tiap hari dari jam delapan pagi hingga jam setengah tujuh maghrib. Kenapa penuh tekanan? Karena ternyata operator warnet juga harus merangkap teknisi. Saya dipaksa mengerti tiap karakteristik PC—baik perangkat keras dan lunaknya—yang saya pantau operasinya. Tiap masalah harus cepat ditangani dan semua pertanyaan pelanggan harus langsung terjawab seakan-akan saya ini Google. Ini jelas terlalu berat. Kerja 10,5 jam tiap hari plus peran ganda namun, hanya digaji Rp500.000/bulan adalah hal yang menyengsarakan. Untunglah ini tidak berlangsung terlalu lama lantaran saya harus mulai masuk kuliah sebulan kemudian.

Nah, begitu lulus kuliah inilah saya baru mencari pekerjaan yang sebenarnya. Saya lulus S1 bulan Desember 2014, baru terima surat keterangan lulus Februari 2015, sedangkan ijazah menyusul kemudian pada Mei 2015. Sejak Desember 2014 hingga Mei 2015 saya sudah menebar sekitar 30-an lamaran via pos dan 20-an via online. Sekian banyak lamaran yang saya tebar ke Perusahaan-Perusahaan di daerah Banten, Jakarta, dan Lampung hanya ada satu yang memanggil yaitu PT. Mandala Finance. Syukurlah saya bisa melaju ke seleksi tahap final yakni wawancara dengan user pusat PT. Mandala Finance walau akhirnya gagal. Tidak apalah, namanya juga perjuangan.

Kemudian pada sekitar pengujung Mei 2015 saya menemukan lowongan dari teman sejurusan saya di grup Facebook Teknik Lingkungan 2010. Tawaran bekerja di konsultan lingkungan sebagai staff dengan gaji hanya Rp1.500.000 tanpa uang lembur dan asuransi kesehatan. Angka ini bahkan lebih kecil dari gaji adik saya yang sekitar Rp.1.700.000 plus lembur dan jaminan kesehatan. Padahal adik saya hanya lulusan SMK. Hati tanpa ragu jelas langsung menolak lowongan tersebut tapi ternyata tidak otak saya. Rasio saya berkata bahwa jauh lebih baik jadi pekerja bergaji kecil ketimbang pengangguran. Saya malu merepotkan Ayah-Ibu sejak dalam kandungan hingga jadi sarjana. Singkat cerita akhirnya saya ambil peluang tersebut dengan mengantarkan lamaran yang di hari sama dilanjutkan dengan wawancara user. Syukurlah, saya diterima di sana dan mulai kerja minggu depan.

Inilah pekerjaan pertama saya yang ternyata menyenangkan dan menantang. Menyenangkan karena staff di sini nyaris semuanya sebaya; menantang karena Bos menekan saya harus mampu mengerjakan kegiatan-kegiatan layaknya seorang yang sangat berpengalaman. Awalnya memang terasa gila tapi setelah dilalui ternyata terletup sejenis perasaan senang dan puas yang adiktif. Sejak itulah saya mulai berpikir kalau di Perusahaan ini saya sebenarnya sedang belajar dan dibonusi uang saku bulanan. Dengan berpikir begitu gaji tersebut tidak lagi terasa kecil dan saya pun kian fokus melahap tiap tantangan yang diberikan Bos.

Kebiasaan saya sebagai operator warnet membuat saya peka terhadap kendala yang dialami komputer beserta perangkat-perangkat tambahannya. Kepekaan inilah yang menggerakkan saya untuk mengatasi tiap kendala TI di sana bahkan sebelum dikeluhkan. Saya rajin mengecek kondisi tiap PC dan laptop rekan sekantor. Saya juga membantu Bos memahami pentingnya investasi fasilitas TI dalam bidang konsultansi. Luar biasa, ternyata Bos merespons dengan membelikan kami tiga PC baru di luar pembelian satu PC khusus untuk drafter. Sebelum membeli PC Bos bertanya pada saya spesifikasi apa yang dibutuhkan dan saya pun menanggapinya dengan mengajukan spesifikasi yang sesuai beserta hitung-hitungan rinci. Selain itu Bos juga menaikkan kapasitas internet kantor karena saya rajin menggalakkan berbagi file-file kecil lewat e-mail untuk menggantikan flash disk.

Selanjutnya, pada sekitar Oktober saya diperintahkan Bos untuk ke Bengkulu menjernihkan suramnya proyek beliau di sana. Karena sepertinya keadaan ini begitu menantang dan tim yang sudah ada di sini pun juga kekurangan tenaga maka, saya bulatkan tekad untuk tinggal di Bengkulu hingga proyek selesai. Proyek di sini jauh lebih gila dari yang saya pikirkan. Lima kegiatan seharga total ±1,7 miliar rupiah dengan kontrak enam bulan (Mei s/d Desember 2015) diselesaikan hanya dalam dua bulan dengan rincian: satu bulan survey dan satu bulan sisanya full mengerjakan laporan beserta seminar-seminarnya. Semua orang sudah tegang ini akan putus kontrak atau jadi temuan BPK. Untunglah semua selesai tepat waktu berkat kerjasama tim dan koordinasi yang amat intens.

Atas keberhasilan ini, Bos saya bahkan salut dan menggadang-gadangkan saya sebagai leader atau lebih besarnya lagi pimpinan kantor. Tidak lama setelah pulang ke kantor Lampung yaitu pada 4 Januari 2016 sebuah telepon dari PPTK kegiatan Bengkulu kemarin berdering. Beliau menawarkan saya untuk jadi konsultan individu unit pelaksana teknis daerah (UPTD) air minum regional Kota Bengkulu, Kab. Bengkulu Tengah, dan Kab. Seluma. Gajinya memang menarik namun konsekuensinya saya harus pindah ke Bengkulu. Saya pun meminta waktu untuk berpikir selama seminggu. Keputusan akhirnya dibuat dan saya ambil tawaran Bapak tersebut. Selanjutnya pada 1 Februari saya mulai bekerja di Bengkulu.

Berat untuk pindah ke Bengkulu karena di sana belum semaju Bandar Lampung, kota asal saya. Tapi, jika ditimbang lagi sebenarnya Bandar Lampung pun baru kelihatan maju signifikan sejak 2009, bukan tidak mungkin Kota Bengkulu juga bisa mengalami hal serupa. Selain itu pula jarak Bandar Lampung-Bengkulu hanya sekitar 12 jam perjalanan mobil. Tidak terlalu jauh jika memang saya jenuh di Bengkulu dan ingin mengunjungi Ayah-Ibu di rumah. Saya juga sebetulnya masih penasaran untuk lebih jauh menjelajahi Curup dan Lebong. Kebetulan saya ada kawan akrab di Curup. Saya juga mendapat ide untuk memenuhi keinginan yang sulit dicari atau tidak ada di Bengkulu yaitu lewat belanja online. Jadi sebenarnya Bengkulu menurut saya tidak seburuk itu.

Lewat cerita saya yang agak panjang di atas mungkin sebagian kalian dapat menangkap siratan bahwa kerja itu melelahkan. Tentu saja. Namun, lelah belum tentu menyiksa. Lelahnya bekerja kadang bisa buat ketagihan. Jelas anda mustahil mengalaminya kalau kerja di bidang yang tidak anda nikmati. Peganglah prinsip bahwa sebelum mendapat pekerjaan yang lebih baik anda harus punya “Kualitas” yang dalam hal ini dibutkikan dari pengalaman kerja. Lalu, bagaimana bisa anda punya pengalaman kerja bila terlalu pilih-pilih? Ambil kesempatan apapun yang ada! Buktikan berapa sebenarnya posisi gaji anda selama bekerja dan lihat hasilnya!

Bekerja di warnet membuat saya belajar kerja ikhlas. Bekerja di konsultan lingkungan mengajarkan saya penerapan ilmu lingkungan, berurusan dengan orang hebat, dan tetap waras walau di bawah tekanan dahsyat. Bagi saya upah itu terbagi tiga: (1) uang, (2) pengalaman, dan (3) kepercayaan. Serap sekecil apapun pengalaman yang ada dalam tugas wajib anda! Perjuangkanlah segala cara benar untuk mendapat kepercayaan baik dari atasan, bawahan, rekan kerja selevel, atau bahkan orang luar! Kian banyak pengalaman dan kepercayaan yang anda punya maka uang pun akan mengikuti. Tulisan saya ini semata berbagi. Semoga tidak ada yang merasa dikuliahi!

Jumat, 12 Februari 2016

Hubungan Antara Kuliah dan Dunia Kerja


Dengan banyaknya jumlah sarjana yang dicetak tiap tahun ditambah lagi sarjana-sarjana tahun sebelumnya yang juga sama-sama ingin mencari atau pindah kerja membuat persaingan menembus lowongan kerja jadi kian ketat. Akibatnya, sudah terlalu banyak lulusan baru yang kecewa karena menganggap bila sarjana akan mudah dapat kerja. Bukan “Mudah” sebenarnya kata yang tepat, tapi “Lebih mudah”. Kenapa? Karena para pemberi kerja menganggap sarjana punya pola pikir yang lebih dibanding mereka yang tamatan SMA atau lebih rendah. Tapi, bukan berarti semata pola pikir khas sarjana yang mereka pertimbangkan dari pencari kerja. Tentu juga ada beberapa faktor kunci lain.

            Lantas bekal kuliah apa yang sebenarnya umum paling dibutuhkan ketika menjejak persaingan dunia kerja? Paling pertama, adalah penguasaan Microsoft Office. Makin mahir kita maka akan kian cepat pula calon atasan atau HRD memikirkan posisi yang tepat anda isi. Selanjutnya adalah kemampuan bahasa, baik bahasa Indonesia laras formal dan ilmiah maupun bahasa asing setidaknya bahasa Inggris pasif. Hal ini akan cepat memberi gambaran bagi calon atasan atau HRD tentang kemampuan anda memahami dan membuat dokumen. Ketiga yang juga sangat penting adalah pola pikir yang intelektual. Ini terlihat dari cara kalian menyikapi masalah, gagasan, hubungan dengan bawahan dan atasan, orang yang lebih tua, senior, maupun pelanggan. Hal terakhir tapi ‘tak kalah penting yang anda butuhkan adalah pemahaman terhadap materi-materi kuliah. Rajinlah membaca dan berlatihlah berbincang tentang hal-hal yang anda pelajari selama kuliah baik di dunia nyata maupun dunia maya!

            Selama kuliah jangan sampai menyepelekan IPK! Targetkan IPK minimal 3,00 untuk bekal anda menembus saringan administrasi Perusahaan/Instansi Pemerintahan. Kenapa tiap Perusahaan/Instansi Pemerintahan mempersyaratkan IPK? Apakah IPK menjanjikan kinerja? Tentu tidak. Tapi minimal dari IPK saja kita bisa tahu sebertanggung jawab apa para pencari kerja terhadap pendidikan mereka. Ada beberapa orang yang berargumen bahwa IPK bisa didapat dari mencontek. Tentu saja para pemberi kerja sudah tahu ini, meski demikian bagi mereka jika memang anda menginginkan IPK yang bersih seharusnya anda tetap bisa mendapatkannya dengan belajar lebih giat. Jika anda enggan belajar lebih giat namun pula anti mencontek dan pasrah pada IP demi IP yang didapat apalah itu namanya kalau bukan mahasiswa yang tidak bertanggung jawab.